فَصْلٌ فِي فَضْلِها
Imam Abu
Muhammad Abdur Rahman ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab Tafsir-nya:
حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ
مُسَافِرٍ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْمُبَارَكِ الصَّنْعَانِيُّ، حَدَّثَنَا
سَلَّامُ بْنُ وَهْبٍ الجَنَديّ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ؛ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. فَقَالَ:
"هُوَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللَّهِ، وَمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ اسْمِ اللَّهِ
الْأَكْبَرِ، إِلَّا كَمَا بَيْنَ سَوَادِ الْعَيْنَيْنِ وَبَيَاضِهِمَا
مِنَ الْقُرْبِ"
telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah rnenceritakan kepada kami Ja'far ibnu
Musafir, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Mubarak As-San'ani, telah
menceritakan kepada kami Salam ibnu Wahb Al-Jundi. telah menceritakan kepada
kami ayahku, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Usman bertanya kepada
Rasulullah Saw. tentang basmalah. Beliau menjawab: Basmalah merupakan salah
satu dari nama-nama Allah; antara dia dan asma Allahu Akbar jaraknya tiada lain
hanyalah seperti antara bagian hitam dari bola mata dan bagian putihnya karena
saking dekatnya.
Hal yang
sama diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Murdawaih, dari Sulaiman ibnu Ahmad,
dari Ali ibnul Mubarak, dari Zaid ibnul Mubarak.
وَقَدْ رَوَى الْحَافِظُ ابْنُ مَرْدُويه مِنْ طَرِيقَيْنِ، عَنْ
إِسْمَاعِيلَ بْنِ عَيَّاشٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ يَحْيَى، عَنْ مِسْعَر، عَنْ
عَطِيَّةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَسْلَمَتْهُ أُمُّهُ
إِلَى الكتَّاب لِيُعَلِّمَهُ، فَقَالَ الْمُعَلِّمُ: اكتب، قال ما أكتب؟ قال: بسم
اللَّهِ، قَالَ لَهُ عِيسَى: وَمَا بِاسْمِ اللَّهِ؟ قَالَ الْمُعَلِّمُ: مَا
أَدْرِي. قَالَ لَهُ عِيسَى: الْبَاءُ بَهاءُ اللَّهِ، وَالسِّينُ سَنَاؤُهُ،
وَالْمِيمُ مَمْلَكَتُهُ، وَاللَّهُ إِلَهُ الْآلِهَةِ، وَالرَّحْمَنُ رَحْمَنُ
الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَالرَّحِيمُ رَحِيمُ الْآخِرَةِ".
Al-Hafiz
ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui dua jalur. dari Ismail ibnu Iyasy, dari
Ismail ibnu Yahya, dari Mis'ar, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, "Sesungguhnya Isa ibnu Maryam
a.s. diserahkan oleh ibunya kepada guru tulis untuk diajar menulis. Kemudian si
guru berkata kepadanya, Tulislah.' Isa a.s. bertanya, 'Apa yang harus aku
tulis?' Si guru menjawab, 'Bismillah." Isa bertanya kepadanya, 'Apakah
arti bismillah itu?' Si guru menjawab, 'Aku tidak tahu.' Isa menjawab, 'Huruf
ba artinya cahaya Allah, huruf sin artinya sinar-Nya. huruf mim artinya
kerajaan-Nya, dan Allah adalah Tuhan semua yang dianggap tuhan. Ar-Rahman
artinya Yang Maha Pemurah di dunia dan di akhirat, sedangkan Ar-Rahim artinya
Yang Maha Penyayang di akhirat'."
Hadis ini
diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui hadis Ibrahim ibnul Ala yang dijuluki
dengan sebutan Ibnu Zabriq, dari Ismail ibnu Iyasy, dari Ismail ibnu Yahya,
dari Ibnu Abu Mulaikah, dari seseorang yang menceritakannya, dari Ibnu Mas'ud
dan Mis'ar, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id yang menceritakan bahwa Rasulullah
Saw. pernah bersabda. Kemudian ia menuturkan hadis ini, tetapi predikatnya
garib (aneh) sekali. Barangkali berpredikat sahih sampai kepada orang selain
Rasulullah Saw., dan barangkali hadis ini termasuk salah satu dari hadis
israiliyat, bukan dari hadis yang marfu’. Juwaibir meriwayatkannya pula sebelum
dia, dari Dahhak.
وَقَدْ رَوَى ابْنُ مَرْدُويه، مِنْ حَدِيثِ يَزِيدَ
بْنِ خَالِدٍ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، وَفِي رِوَايَةٍ عَنْ عَبْدِ
الْكَرِيمِ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ؛ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آيَةٌ
لَمْ تَنْزِلْ عَلَى نَبِيٍّ غَيْرِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ وَغَيْرِي، وَهِيَ
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ"
Ibnu
Murdawaih meriwayatkan dari hadis Yazid ibnu Khalid, dari Sulaiman ibnu
Buraidah; sedangkan menurut riwayat lain dari Abdul Karim Abu Umayyah, dari Abu
Buraidah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Telah diturunkan
kepadaku suatu ayat yang belum pernah diturunkan kepada seorang nabipun selain
Sulaiman ibnu Daud dan aku sendiri, yaitu bismillahir rahmanir rahim
(Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang).
Ibnu
Murdawaih meriwayatkannya pula berikut sanadnya melalui Abdul Karim Al-Kabir
ibnul Mu'afa ibnu Imran, dari ayahnya, dari Umar ibnu Zar, dari Ata ibnu Abu
Rabah, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa ketika diturunkan
kalimat berikut: Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Maka seluruh awan lari ke arah timur, angin hening tak bertiup, sedangkan
lautan menggelora, semua binatang mendengar melalui telinga mereka, dan semua
setan dirajam dari langit. Pada saat itu Allah Swt. bersumpah dengan menyebut
keagungan dan kemuliaan-Nya bahwa tidak sekali-kali asma-Nya (yang ada dalam
basmalah) diucapkan terhadap sesuatu melainkan Dia pasti memberkatinya.
Waki'
mengatakan dari Al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan
bahwa barang siapa yang ingin diselamatkan oleh Allah dari Malaikat Zabaniyah
yang jumlahnya sembilan belas (Zabaniyah adalah juru penyiksa neraka),
hendaklah ia membaca: Dengan nama Allah YangMaha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Allah
akan menjadikan sebuah surga baginya pada setiap huruf dari basmalah untuk
menggantikan setiap Malaikat Zabaniah. Hal ini diketengahkan oleh Ibnu Atiyyah
dan Al-Qurtubi, diperkuat dan didukung oleh Ibnu Atiyyah dengan sebuah hadis
yang mengatakan,
"فَقَدْ رَأَيْتُ
بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا" لِقَوْلِ الرَّجُلِ:
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
"Sesungguhnya
aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berebutan (mencatat) perkataan
seorang lelaki yang mengucapkan, 'rabbana walakal hamdu hamdan ka'siran
tayyiban mubarakan fihi' (Wahai Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji dengan
pujian yang sebanyak-banyaknya, baik lagi diberkati),
mengingat
jumlah semua hurufnya ada sembilan belas." Dan dalil-dalil lainnya.
Imam
Ahmad ibnu Hambal di dalam kitab Musnad-nya mengatakan bahwa:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ، عَنْ عَاصِمٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا تَمِيمَةَ يُحَدِّثُ، عَنْ رَدِيفِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: عَثَرَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: تَعِس الشَّيْطَانُ. فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ.
فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ: تَعِسَ الشَّيْطَانُ تَعَاظَمَ، وَقَالَ: بِقُوَّتِي
صَرَعْتُهُ، وَإِذَا قُلْتَ: بِاسْمِ اللَّهِ، تَصَاغَرَ حَتَّى يَصِيرَ مِثْلَ
الذُّبَابِ".
telah
menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami
Syu'bah, dari Asim yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Abu Tamim
yang menceritakan hadis dari orang yang pernah membonceng Nabi Saw. Si
pembonceng menceritakan: Unta kendaraan Nabi Saw. terperosok, maka aku
mengatakan, "Celakalah setan." Maka Nabi Saw. bersabda, "Janganlah
kamu katakan, 'Celakalah setan,' karena sesungguhnya jika kamu katakan
demikian, maka ia makin membesar, lalu mengatakan, 'Dengan kekuatanku niscaya
aku dapat mengalahkannya.' Tetapi jika kamu katakan, 'Dengan nama Allah,'
niscaya si setan makin mengecil hingga bentuknya menjadi sebesar lalat."
Demikian
menurut riwayat Imam Ahmad.
Imam
Nasai di dalam kitab Al-Yaumu wal Lailah dan Ibnu Murdawaih di dalam
kitab Tafsir-nya. telah meriwayatkan melalui hadis Khalid Al-Hazza, dari Abu
Tamimah (yaitu Al-Hujaimi), dari Abul Malih ibnu Usamah ibnu Umair, dari
ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah membonceng Nabi Saw. Selanjutnya dia
menuturkan hadis hingga sampai pada sabda Nabi Saw. yang mengatakan:
«لَا تَقُلْ هَكَذَا فَإِنَّهُ يَتَعَاظَمُ
حَتَّى يَكُونَ كَالْبَيْتِ، وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّهُ يَصْغُرُ
حَتَّى يَكُونَ كَالذُّبَابَةِ»
Jangan
kamu katakan demikian, karena sesungguhnya setan nanti akan makin membesar
hingga bentuknya seperti rumah. Tetapi katakanlah.”Bismillah" (dengan nama
Allah), karena sesungguh-nya dia akan mengecil hingga bentuknya seperti lalat.
Demikian
itu terjadi berkat kalimah bismillah. Karena itu, pada permulaan setiap
perbuatan dan ucapan disunatkan terlebih dahulu membaca basmalah.
Membaca
basmalah disunatkan pada
permulaan khotbah, berdasarkan sebuah hadis yang mengatakan:
«كُلُّ أَمْرٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بِبِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَهُوَ أَجْذَمُ »
Setiap
perkara yang tidak dimulai dengan bacaan bismillahir rahmanir rahim (Dengan
nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), maka perkara itu kurang
sempurna.
Disunatkan
membaca basmalah di saat hendak memasuki kamar kecil, berdasarkan sebuah hadis
yang menganjurkannya.
Disunatkan
pula membaca basmalah pada permulaan wudu, berdasarkan sebuah hadis yang
disebutkan di dalam Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Sunan. melalui riwayat
Abu Hurairah dan Sa'id ibnu Zaid serta Abu Sa'id secara. marfu’. yaitu:
«لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ
اللَّهِ عَلَيْهِ»
Tidak
ada wudu bagi orang yang tidak menyebut asma Allah (bismillah) dalam wudunya.
Hadis ini
berpredikat hasan.
Di antara
ulama ada yang mewajibkannya di saat hendak melakukan zikir, dan di antara
mereka ada pula yang mewajibkannya secara mutlak. Membaca basmalah disunatkan
pula di saat hendak melakukan penyembelihan, menurut mazhab Imam Syafii dan
segolongan ulama. Ulama lain mengatakan wajib di kala hendak melakukan zikir,
juga wajib secara mutlak menurut pendapat sebagian dari mereka, seperti yang
akan dijelaskan pada bagian lain.
Ar-Razi
di dalam kitab Tafsir-nya menyebutkan hadis mengenai keutamaan basmalah, antara
lain dari Abu Hurairah r.a. disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا أَتَيْتَ
أَهْلَكَ فَسَمِّ اللَّهَ؛ فَإِنَّهُ إِنْ وُلِدَ لَكَ وَلَدٌ كُتِبَ لَكَ
بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ وَأَنْفَاسِ ذُرِّيَّتِهِ حَسَنَاتٌ"
Apabila
kamu mendatangi istrimu, maka sebutlah asma Allah, karena sesungguhnya apabila
ditakdirkan bagimu punya anak, niscaya akan dicatatkan bagimu kebaikan-kebaikan
menurut bilangan helaan napasnya dan napas-napas keturunannya.
Akan
tetapi, hadis ini tidak ada asalnya, dan aku (penulis: yakni Ibnu Katsir) belum
pernah melihatnya dalam suatu kitab pun di antara kitab-kitab yang dapat
dipegang, tidak pula pada yang lainnya.
Disunatkan
membaca basmalah di saat hendak makan, seperti apa yang disebutkan di dalam
hadis sahih Muslim yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda
kepada anak tirinya, yaitu Umar ibnu Abu Salamah:
"قُلْ: بِاسْمِ
اللَّهِ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ"
Ucapkanlah
bismillah, dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah makanan yang dekat
denganmu.
Sebagian
ulama mewajibkan membaca basmalah dalam keadaan seperti itu.
Disunatkan
pula membaca basmalah di saat hendak melakukan senggama, seperti yang
disebutkan dalam hadis Sahihain melalui Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda:
«لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ
يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ
وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقَتْنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا
وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ أَبَدًا» .
Seandainya
seseorang di antara kalian hendak mendatangi istrinya, lalu ia mengucapkan,
"Dengan menyebut asma Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan
jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezekikan (anugerahkan) kepada kami,
"karena sesungguhnya jika ditakdirkan terlahirkan anak di antara keduanya,
niscaya setan tidak dapat menimpakan mudarat terhadap anak itu untuk
selama-lamanya.
Berawal
dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa kedua pendapat di kalangan ahli nahwu
dalam masalah lafaz yang dijadikan ta'alluq (kaitan) oleh huruf ba dalam
kalimat Bismillah. apakah berupa fi’l atau isim, keduanya sama-sama
mendekati kebenaran. Masing-masing pendapat memang ada contohnya di dalam
Al-Qur'an.
Pendapat
yang mengatakan bahwa ta'alluq-nya berupa isim. hingga bentuk lengkapnya
menjadi seperti berikut: "Dengan menyebut asma Allah kumulai",
contohnya di dalam Al-Qur'an ialah firman-Nya:
وَقالَ ارْكَبُوا فِيها
بِسْمِ اللَّهِ مَجْراها وَمُرْساها إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan
Nuh berkata, "Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah
di waktu berlayar dan berlabuh." Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Hud: 41)
Orang
yang memperkirakannya dalam bentuk fi’l, baik fi’l amar ataupun khabar
(kalimat berita), contohnya ialah: "Aku memulai dengan menyebut asma
Allah" atau "Dengan nama Allah aku memulai", seperti pengertian
yang terkandung di dalam firman-Nya:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ
الَّذِي خَلَقَ
Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (Al-'Alaq: 1)
Kedua
pendapat tersebut benar, karena suatu fi'il pasti mempunyai masdar. Maka Anda
boleh memperkirakan ta'alluq-nya dalam bentuk fi'il atau masdar-nya. Yang
demikian itu disesuaikan dengan pekerjaan yang akan dibacakan basmalah
untuknya, misalnya duduk, berdiri, makan, minum, membaca, wudu, ataupun salat.
Hal yang dianjurkan ialah membaca basmalah di kala hendak melakukan semua hal
yang disebutkan untuk memperoleh berkah dan rahmat serta pertolongan dalam
menyelesaikannya dan agar diterima oleh Allah Swt.
Ibnu
Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadis Bisyr ibnu Imarah, dari Abu
Rauq, dari Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa hal yang mula-mula
dibawa turun oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw. ialah: "Hai
Muhammad, katakanlah, 'Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui dari godaan setan yang terkutuk'." Kemudian Malaikat
Jibril berkata, "Katakanlah bismillahir rahmanir rahim (Dengan nama Allah
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang)."
Jibril
berkata kepadanya, "Hai Muhammad, sebutlah asma Allah, bacalah dengan
menyebut asma Allah —Tuhanmu— dan berdiri serta duduklah dengan menyebut asma
Allah," menurut lafaz Ibnu Jarir.
Apakah
lafaz isim (yang ada pada lafaz Bismi) merupakan musamma (yang diberi
nama) atau lainnya? Dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu:
Pertama,
isim adalah musamma (yang diberi nama). Pendapat ini dikatakan oleh Abu Ubaidah
dan Imam Sibawaih, kemudian dipilih oleh Al-Baqilani dan Ibnu Faurak; dikatakan
pula oleh Ar-Razi (yaitu Muhammad ibnu Umar) yang dikenal dengan julukan Ibnu
Khatib Ar-Ray di dalam mukadimah kitab Tafsir-nya.
Kedua,
menurut golongan Al-Hasywiyyah, Al-Karamiyyah, dan Al-Asy'ariyyah, isim adalah
diri yang diberi nama, tetapi bukan namanya.
Ketiga,
menurut Mu'tazilah isim bukan menunjukkan yang diberi nama, tetapi merupakan
namanya.
Menurut
pendapat yang terpilih di kalangan kami, isim bukan menunjukkan yang diberi
nama. bukan pula namanya. Kemudian kami simpulkan, jika yang dimaksud dengan
istilah "isim" adalah "suara dari huruf-huruf yang
tersusun", maka menurut kesimpulannya isim bukanlah musamma, sekalipun
menurut makna yang dimaksud dengan isim adalah diri musamma (yang diberi nama).
Hal seperti ini termasuk ke dalam Bab "Menjelaskan Hal yang Sudah Jelas
Berarti Tidak Ada Gunanya". Maka dapat dibuktikan bahwa melibatkan diri ke
dalam pembahasan ini dengan mengadakan semua hipotesis sama saja dengan
membuang-buang waktu yang tidak ada guna.
Kemudian
dibahas hal yang menunjukkan adanya perbedaan antara isim dan musamma.
Disebutkan bahwa adakalanya isim memang ada, tetapi musamma-nya tidak ada,
seperti lafaz ma'dum (yang tidak ada). Adakalanya sesuatu itu mempunyai banyak
isim (nama), seperti lafaz mutaradif (sinonim). Adakalanya isim-nya satu.
sedangkan mu-samma-nya berbilang, seperti lafaz yang musytarak (satu lafaz yang
mempunyai dua makna yang bertentangan). Hal tersebut menunjukkan adanya
perbedaan antara isim dan musamma, dan isim merupakan lafaz, sedangkan musamma
adalah penampilannya; musamma itu adakalanya merupakan zat yang mungkin atau
wajib keberadaan zatnya. Lafaz an-nar (api) dan as-salj (es) seandainya merupakan
musamma, niscaya orang yang menyebutnya akan merasakan panasnya api dan
dinginnya es. Akan tetapi. tentu saja hal seperti ini tidak akan dikemukakan
oleh orang yang berakal waras. Juga karena Allah Swt. telah berfirman:
وَلِلَّهِ الْأَسْماءُ
الْحُسْنى فَادْعُوهُ بِها
Allah
mempunyai asma’ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma’ul
husna itu. (Al-A'raf: 180)
Nabi Saw.
telah bersabda:
«إِنْ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا»
Sesungguhnya
Allah memiliki sembilan puluh sembilan isim (nama).
Shahih: Bukhari 7392 dan Muslim 2677
Ini
adalah nama yang banyak, tetapi musamma-nya adalah esa, yaitu Allah Swt. Allah
pun telah berfirman: Allah mempunyai nama-nama. (Al-A'raf: 180) Allah
telah meng-idafah-km nama-nama itu kepada dirinya, seperti yang terdapat di
dalam firman-Nya:
فَسَبِّحْ بِاسْمِ
رَبِّكَ الْعَظِيمِ
Maka
bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahabesar. (Al-Waqi'ah: 74)
Demikian
pula yang lain-lainnya yang semisal; kesimpulannya menyatakan bahwa idafah
memberikan pengertian mugayarah (perbedaan antara isim dan musamma). Allah Swt.
telah berfirman: maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna
itu. (Al-A'raf: 180)
Hal ini
menunjukkan bahwa isim bukanlah zat Allah.
Sedangkan
orang yang berpendapat bahwa isim adalah musamma, beralasan dengan
firman-Nya:
تَبارَكَ اسْمُ رَبِّكَ
ذِي الْجَلالِ وَالْإِكْرامِ
Mahaagung
nama Tuhanmu Yang mempunyai Kebesaran dan Karunia. (Ar-Rahman: 78)
Yang
Mahaagung adalah Allah Swt, sebagai jawabannya ialah bahwa isim yang diagungkan
untuk mengagungkan Zat Yang Mahasuci; demikian pula jika seorang lelaki
mengatakan Zainab —yakni istrinya— tertalak, maka Zainab menjadi terceraikan.
Seandainya isim bukanlah musamma, niscaya talak tidak akan jatuh kepadanya, dan
tentu saja sebagai jawabannya dikatakan bahwa makna yang dimaksud ialah diri
yang diberi nama Zainab terkena talak.
Ar-Razi
mengatakan bahwa tasmiyah artinya "menjadikan isim ditentukan untuk diri
orang yang bersangkutan", maka diri orang tersebut bukanlah isim-nya.
0 komentar:
Posting Komentar